A life

Tentang Bully, 18 Tahun Lalu

Beberapa hari yang lalu meninggalnya seorang musisi karena depresi mejadi trending topic worldwide di Twitter. Depresi bisa disebabkan banyak hal, salah satunya adalah tekanan dari lingkungan yang tidak mampu diatasi oleh seseorang, seperti bullying. Hal ini jadi mengingatkanku pada sebuah kejadian di masa lalu -yah, untungnya nggak sampai depresi apalagi bunuh diri 😢-.

Bullying adalah kondisi ketika seseorang atau sebuah kelompok melakukan sesuatu yang bertujuan menyakiti orang atau kelompok lain. Menyakiti tidak hanya secara fisik (physical bullying), tapi juga bisa dilakukan secara verbal (verbal bullying), atau melalui dunia maya (cyber bullying) seperti yang marak di zaman sekarang.

Tahun 1999, kelas 1 SD.

Saat kelas 1 SD aku ikut mobil jemputan bersama dengan teman-teman lain yang memiliki rumah searah denganku, Bis 02 kami biasa menyebutnya. Hari pertama sekolah aku masih diantar oleh orang tuaku, hingga beberapa hari setelahnya aku mulai diantar-jemput menggunakan bis sekolah. Bis sekolah biasanya tiba di depan rumah pukul 07.30 pagi. Rumahku merupakan yang paling dekat dengan sekolah, jadilah aku menjadi yang paling terakhir dijemput. Seingatku, aku lebih sering berdiri selama di bis karena bis sudah penuh. Untungnya jarak sekolah dan rumah tidak terlalu jauh, jadi tidak masalah, pikirku saat itu.

Permasalahan justru terjadi saat pulang sekolah. Karena masih kelas 1, aku pulang sekolah lebih cepat dari kakak-kakak senior, sehingga aku dan teman-teman lain mesti menunggu hingga mereka pulang sekolah. Biasanya aku memanfaatkan waktu untuk bermain atau jajan dengan teman-teman. Kondisi saat itu, bis sudah terparkir di depan sekolah, jadi aku bisa meletakkan tas lebih dulu. Harapannya supaya dapat tempat duduk.

Saat kakak-kakak pulang sekolah, akupun segera naik ke dalam bus. Ternyata tempat duduk yang sudah aku letakkan tas tadi sudah diduduki oleh kakak kelas. Aku mengatakan hal ini pada kakak tersebut, namun dia malah mencubitku. Aku menangis saat itu, kalau diingat-ingat lagi sekarang justru semakin sedih yah :’)

Kakak kelas yang seperti ini ada beberapa orang, dan mereka juga mengganggu temanku. Diantara mereka ada yang kakak adik dan sepupuan, oleh karena itu sepertinya mereka jadi lebih leluasa untuk berkuasa. Tak hanya itu, aku juga pernah dipalakin oleh mereka. Jajan anak kecil di tahun itu yang hanya 500 rupiah, cukup untuk beli lontong dan ditabung sedikit. Sedihnya bukan main, namanya juga anak kecil yang pengen hemat supaya bisa nabung tapi dipalakin, ah….😢

Kejadian ini terulang beberapa kali. Sampai aku merasa takut untuk berbicara di dalam bus, takut mereka melihatku dan kembali mencubit atau memaksa memberi uang. Berbeda dengan saat dengan teman-teman atau di kelas, aku justru banyak berbicara. Tapi begitu jam pulang sekolah dan menaiki bus, aku kembali diam. Akhirnya aku menceritakan hal ini kepada Mama, beliau memutuskan aku untuk berhenti naik bus antar jemput setelah naik kelas. Ah, legaaaaaaaaaaaaaa…

*Berdasarkan cerita dari beberapa teman, mereka memang masih suka mengganggu orang lain. seperti hantu*

Beberapa orang kakak senior tersebut ada yang satu SD, SMP, SMA denganku. Bahkan ada yang dari SD hingga SMA satu sekolahan. Saat bertemu di SMP atau SMA, sikap mereka semua sama, seolah-olah tak ada sesuatu yang terjadi. Mereka lupa, sikap mereka dahulu di masa kecil membawa pengaruh buruk bagi beberapa orang, walau tak disengaja (?).

Ada yang bilang, memaafkan tapi tidak melupakan. Bukan mendendam tapi mengingat betapa dahulu pernah diperlakukan kurang baik. Entahlah efeknya masih membekas atau tidak.

Karena merasakan hal ini langsung, aku nggak heran di zaman sekarang banyak yang depresi bahkan bunuh diri. Betapa mudahnya sebuah aksi menjadi viral dan dipenuhi kontroversi.

Sebagai contoh, seorang Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di salah satu universitas swasta dibully secara fisik hingga ia terlihat marah dan videonya tersebar luas di dunia maya. Entah apa yang dirasakan oleh anak tersebut, yang terlihat adalah ekspresinya yang marah saat didorong. Karena video yang sudah tersebar, efek bumerang justru terjadi pada anak yang membully. Dia dihujat habis-habisan dan dilaporkan kepada pihak universitas. Entah apa pula perasaannya menjadi terkenal dengan sikapnya yang seperti itu. Bully berbalas bully. Untungnya, mereka nggak sampai bunuh diri.

Tidak semua pembully mendapatkan efek jera dari perbuatannya. Contoh di atas merupakan pembully yang kemudian mendapat bully dari netizen. Ada juga pembully yang justru  merasa tidak pernah terjadi apa-apa dengan orang yang pernah ia bully. Dia tetap berjalan dan berkembang dengan jumawa, tanpa ada rasa bersalah. Setidaknya itu yang dilakukan oleh kakak kelasku dulu. Ketika akan menulis ini sempat berkonsultasi dengan Bapak Suami. Takut akan berdampak kurang baik pada orang lain, tapi aku berharap ini hanya sebagai pengingat untuk siapapun yang membacanya. Saat diskusi, Pak Suami sempat bertanya, “Kalau mereka sadar dulu pernah khilaf dan minta maaf, kamu bakal gimana?”. Aku menjawab, “Aku akan memaafkan dan berterimakasih karena sudah meminta maaf. Berterimakasih juga karena pernah mewarnai masa kecilku dan justru membuat aku semakin kuat.” Terima kasih.

 

 

 

7 thoughts on “Tentang Bully, 18 Tahun Lalu

Leave a comment